Kamis, 15 September 2011

Berkenalan dengan cinta dari sudut yang berbeda


Berbicara mengenai cinta pasti kita tidak asing lagi karena kata tersebut sangat sederhana namun memiliki makna yang luas, misalnya cinta terhadap Tuhan, cinta terhadap orang tua, dan cinta terhadap sesama. Tetapi yang sering kita dengar dan banyak diperbincangkan oleh kita adalah cinta terhadap sesama. Terbukti dengan maraknya bermunculan lagu-lagu cinta yang mellow dan mendayu-dayu, dan buku-buku seperti novel cinta yang sangat digemari masyarakat saat ini. Dengan bahasa yang sederhana dan ceritanya seakan-akan terjadi pada kejadian sehari-hari. Tak jarang kita akan menitikan air mata ataupun tersenyum tersipu-sipu karena cerita tersebut menguras emosi para penggemarnya.

Cinta merupakan salah satu bentuk emosi dan perasaan yang dimiliki individu. Dan sifatnya pun subyektif sehingga setiap individu akan mempunyai makna yang berbeda tergantung pada penghayatan serta pengalamannya.

Dalam ilmu psikologi aliran humanistik, berpandangan bahwa cinta yang sebenarnya adalah orang yang merealisasi potensinya menjadi yang terbaik, sesuai dengan kadar kekuatannya. Dia harus menerima diri sendiri apa adanya terlebih dahulu, sebelum dia memberikan cinta kepada orang lain. Seseorang yang tidak menerima dirinya sendiri, dia akan menebar kebencian. Ataupun seseorang yang tidak menerima diri sendiri (kekurangan), sedang jatuh cinta, dan tidak berdaya didepan pasangannya, dia sedang mengembangkan cinta yang neurotic (cinta yang sakit). Jadi cinta yang sehat adalah cinta memandang diri sendiri berharga, dan merasa mempunyai sesuatu yang berharga yang bisa diberikan untuk kebahagian bersama. Jika seseorang sudah memandang diri sendiri berharga, dia akan melahirkan sebuah cinta yang matang.

Helen Fischer, seorang peneliti asal Amerika menjelaskan cinta dari sudut pandang ilmu eksakta khususnya kimia, bahwa reaksi munculnya cinta itu timbul karena kerja sejumlah hormon yang ada dalam tubuh, khususnya hormon yang diproduksi otak. Gelora cinta manusia yang meluap-luap tidak jauh berbeda dengan reaksi kimia. Dapt dijelaskan sebagai berikut.
Ketika hubungan mata sedang berlangsung, tertanam suatu `kesan’. Inilah fase pertama. Otak bekerja bagaikan komputer yang menyediakan sejumlah data, dan menserasikannya dengan sejumlah data yang pernah direkam sebelumnya. Ia mencari apa yang membuat pesona itu muncul. Kalau sudah begini, bau yang ditimbulkan oleh lawan jenis pun boleh menjadi pemicu timbulnya rasa romantik.
Fasa kedua, yaitu munculnya hormon Phenylethylamine (PEA) yang diproduksi otak. Ketika orang lagi kasmaran, maka dalam tubuhnya akan memproduksi hormon Phenthylamine ( PEA), efeknya adalah terjadi peningkatan suhu tubuh, gula dan tekanan darah, denyut jantung akan lebih cepat dan berkeringat, orang tersebut juga menjadi penasaran, salah tingkah, bergairah (bersemangat), dan gembira.
Fasa ketiga yaitu ketika gelora cinta sudah reda. Yang tersisa hanyalah kasih sayang. Hormon endorphins, senyawa kimia yang identik dengan morfin, mengalir ke otak. Sebagaimana efek yang ditimbulkan dadah dan sebagainya, saat inilah tubuh merasa nyaman, damai, dan tenang.

Akan tetapi, proses jatuh cinta itu tidak hanya dipengaruhi hormon dengan reaksi kimianya banyak faktor sosial lainnya yang menentukan. Contohnya proses jatuh cinta yang dalam bahasa jawa lebih terkenal dengan versi Tresno Jalaran Soko Kulino” yang bermaksud datangnya cinta karena pertemuan yang berulang-ulang”.


Refrensi :
www.psychologymania.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar