Berbicara mengenai cinta
pasti kita tidak asing lagi karena kata tersebut sangat sederhana namun
memiliki makna yang luas, misalnya cinta terhadap Tuhan, cinta terhadap orang
tua, dan cinta terhadap sesama. Tetapi yang sering kita dengar dan banyak diperbincangkan
oleh kita adalah cinta terhadap sesama. Terbukti dengan
maraknya bermunculan lagu-lagu cinta yang
mellow dan mendayu-dayu, dan buku-buku
seperti novel cinta yang sangat digemari masyarakat
saat ini. Dengan bahasa yang sederhana dan ceritanya seakan-akan terjadi pada
kejadian sehari-hari. Tak jarang kita akan menitikan air mata ataupun tersenyum
tersipu-sipu karena cerita tersebut menguras emosi para penggemarnya.
Cinta merupakan salah satu bentuk emosi dan perasaan
yang dimiliki individu. Dan sifatnya pun subyektif sehingga setiap individu akan mempunyai makna yang berbeda
tergantung pada penghayatan serta pengalamannya.
Dalam ilmu psikologi aliran
humanistik, berpandangan bahwa cinta yang sebenarnya adalah orang yang
merealisasi potensinya menjadi yang terbaik, sesuai dengan kadar kekuatannya.
Dia harus menerima diri sendiri apa adanya terlebih dahulu, sebelum dia
memberikan cinta kepada orang lain. Seseorang yang tidak menerima dirinya
sendiri, dia akan menebar kebencian. Ataupun seseorang yang tidak menerima diri
sendiri (kekurangan), sedang jatuh cinta, dan tidak berdaya didepan
pasangannya, dia sedang mengembangkan cinta yang neurotic (cinta yang sakit). Jadi cinta yang sehat adalah cinta
memandang diri sendiri berharga, dan merasa mempunyai sesuatu yang berharga
yang bisa diberikan untuk kebahagian bersama. Jika seseorang sudah memandang
diri sendiri berharga, dia akan melahirkan sebuah cinta yang matang.
Helen Fischer, seorang
peneliti asal Amerika menjelaskan cinta dari sudut pandang ilmu eksakta
khususnya kimia, bahwa reaksi munculnya cinta itu timbul karena kerja sejumlah
hormon yang ada dalam tubuh, khususnya hormon yang diproduksi otak. Gelora
cinta manusia yang meluap-luap tidak jauh berbeda dengan reaksi kimia. Dapt
dijelaskan sebagai berikut.
Ketika
hubungan mata sedang berlangsung, tertanam suatu `kesan’. Inilah fase
pertama. Otak bekerja bagaikan komputer yang menyediakan sejumlah data,
dan menserasikannya dengan sejumlah data yang pernah direkam sebelumnya. Ia
mencari apa yang membuat pesona itu muncul. Kalau sudah begini, bau yang
ditimbulkan oleh lawan jenis pun boleh menjadi pemicu timbulnya rasa romantik.
Fasa
kedua, yaitu munculnya hormon Phenylethylamine (PEA) yang
diproduksi otak. Ketika orang
lagi kasmaran, maka dalam tubuhnya akan memproduksi hormon Phenthylamine ( PEA), efeknya adalah terjadi peningkatan suhu
tubuh, gula dan tekanan darah, denyut jantung akan lebih cepat dan berkeringat,
orang tersebut juga menjadi penasaran, salah tingkah, bergairah (bersemangat),
dan gembira.
Fasa
ketiga yaitu ketika gelora cinta sudah reda. Yang tersisa
hanyalah kasih sayang. Hormon endorphins, senyawa kimia yang identik dengan
morfin, mengalir ke otak. Sebagaimana efek yang ditimbulkan dadah dan
sebagainya, saat inilah tubuh merasa nyaman, damai, dan tenang.
Akan tetapi, proses jatuh cinta itu tidak hanya
dipengaruhi hormon dengan reaksi kimianya banyak faktor sosial lainnya yang
menentukan. Contohnya proses jatuh cinta yang dalam bahasa jawa lebih terkenal
dengan versi Tresno Jalaran Soko Kulino” yang bermaksud datangnya cinta karena
pertemuan yang berulang-ulang”.
Refrensi
:
www.psychologymania.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar